1. Pengertian
Trauma capitis adalah suatu
gangguan traumatic dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai
pendarahan intestiil dalam substansi otak tampak diikuti terputusnya
contiunitas otak (BOUMA, 2010).
Cedera kepala
merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak (MORTON,2012)
Trauma capitis
merupakan trauma, dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah
hemoragi. Pada kasus-kasus kecelakaan lalulintas biasanya kepala yang bergerak
terbentuk atau di pukul kemungkinan yang lebih jarang terjadi bila kepala yang
tidak dapat bergerak karena tertahan sesuatu mengalami benturan
yang menggencetnya. (HARSONO, 2010,).
2.
Klasifikasi cedera kepala
Berdasarkan patologi
a.
Cedera kepala primer
|
b.
Cedera kepala sekunder
Cedera ini
merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut yang terjadi
setelah trauma sehingga meningkatkan TIK yang tak terkendali, meliputi respon
fisiologi cedera otot, termasuk edema cerebral, perubahan biokimia, dan
perubahan hemodinamik cerebral, iskemia cerebral, hipotensi sistemik dan
infeksi local atau sistemik.
Menurut jenis
cedera
a)
Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang
tengkorak dan laserasi 2 meter. Trauma yang menembus tengkorak dan jaringan
otak
b)
Cedera kepala tertutup dapat disamakan pada klien
dengan gegas otak ringan dengan cedera cerebral yang luas.
3. Etiologi
Mekanisme trauma
capitis meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi- deselerasi, coup-
countre coup, dan cedera rotasional.
1)
Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak
menghantam kepala yang tidak bergerak (misalnya, alat pemukul menghantam kepala
atau peluru yang di tembakkan ke kepala)
2)
Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak
membentur obyek diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika
kepala membentur kaca depan mobil, menurut Nanda Nic Noc Edisi Revisi Jilid 1,
2013.
trauma capitis
dapat disebabkan karena :
a.
Kecelakaan lalu lintas
b.
Perkelahian
c.
Jatuh dan cedera olah raga
d.
Adanya benturan sesuatu benda tumpul
e.
Trauma capitis terbuka sering disebabkan oleh peluru
atau pisau
4. Anatomi Fisiologi Susunan Saraf Pusat

Gambar 2.1 :
Anatomi otak( dari winggerd, The Human Body :
Concepts of anatomi &
fisiologi, hal. 258, Harcout Brace College
Publisher
Pembagian
susunan saraf terdiri atas :
a.
Susunan saraf pusat
1)
Medula spinalis
2)
Otak
a)
Otak besar
b)
Otak kecil
c)
Batang otak
b.
Susunan saraf perifer
1)
Susunan saraf somatic
2)
Susunan saraf otonom
a)
Susunan saraf simpatis
b)
Susunan saraf parasimpatis
Otak Terbagi atas :
a.
Otak besar (cerebrum)
Cerebrum (otak
besar) merupakan bagian otak manusia yang terbesar, paling berkembang dan
memiliki fungsi luhur yang paling utama.
Otak
besar terdiri dari substansia abu-abu (grey mater) setebal + 2 cm (
corteks cerebri ) yang berfungsi sebagai pusat intelektual, pusat bicara,
emosi, integrasi sensorik dan motorik, kontrol gerak dan lain-lain. Sedangkan bagian dalam otak merupakan substansia putih
(white matter) berisi “network” serabut-serabut saraf yang memungkinkan antar
bagian otak saling berkomunikasi dan jaringan penyangga saraf yang berfungsi
memberi bentuk otak.
b.
Otak kecil (cerebellum)
Cerebellum
terletak pada bagian bawah dan belakang tengkorak dipisahkan dengan serebrum
oleh fisura transversalis dibelakangi oleh pons varoli dan diatas medulla
oblongata. Organ ini banyak menerima serabut afferent sensoris, merupakan pusat
koordinasi dan integrasi.
Fungsi
cerebellum :
1)
Arkhioserebelum (vestibulosereberum), serabutaferen
berasal dari telinga dalam yang diteruskan oleh nervus VIII (auditorius) untuk
keseimbangan dan rangsangan pendengaran ke otak
2)
Paleaserebelum (spinocereberum) sebagai pusat penerima
inpuls dari reseptor sensasi umum medulla spinalis dan nervus vagus (Trigeminus)
kelopak mata, rahang atas dan bawah, serta otot pengunyah.
3)
Neoserebelum (pontoserebelum). Korteks serebelum
menerima informasi tentang gerakan yang sedang dan yang akan dikerjakan dan
mengatur gerakan sisi badan.
c.
Batang otak (brain stem, truncus cerebri)
Brain stem
(batang otak) keatas berhubungan dengan cerebrum dan medulla. Serebrum melekat
pada batang otak di bagian medulla oblongata. merupakan jalur terakhir dari
otak yang menghubungkannya dengan medulla spinalis. Batang otak ini bertanggung
jawab pada berbagai fungsi otonom seperti kontrol pernapasan, denyut jantung,
tekanan darah, bangun, rangsangan dan perhatian.
5. Mekanisme cedera
Trauma
capitis disebabkan karena adanya
daya/ kekuatan yang mendadak di kepala. Ada tiga mekanisme yang berpengaruh
dalam trauma di kepala yaitu akselarasi, deselarasi dan deformitas. Akselarasi
yaitu jika benda bergerak membentur kepala yang diam. Misalnya pada orang yang
diam kemudian dipukul atau terlempar batu. Deselarasi yaitu jika kepala yang
bergerak membentur benda yang diam, misalnya saat kepala terbentur, deformitas
adalah perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh terjadi akibat trauma, misalnya
adanya fraktur kepala kompresi, ketengangan atau pemotongan pada jaringan otak.
Pada saat terjadinya deselerasi ada kemungkinan terjadi rotasi kepala sehingga
dapat menambah kerusakan. Mekanisme trauma capitis dapat mengakibatkan kerusakan pada daerah dekat
benturan (kup) dan
kerusakan pada daerah yang berlawanan
dengan benturan (kontra
kup) (TARWOTO, 2010)
6.
Patofisologi
Otak dapat berfungsi dengan
baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang di
hasilkan di dalam sel sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan
oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg%,
karena akan menimbulkan coma.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung
sekuncup aktifitas atypical- myocardial, perubahan tekanan faskuler dan udem
paru.
Cedera kepala menurut
patofisiologi di bagi menjadi 2 :
1)
Cedera
kepala primer
Akibat langsung pada
mekanisme dinamik (acelerasi- decelerasi rotasi) yang menyebabkan gangguan pada
jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi :
a)
Gegar
kepala ringan
b)
Memar
otak
c)
Laserasi
2)
Cedera
kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder
akan timbul gejalah, seperti :
-
Hipotensi
sistemik
-
Hipoksia
hiperkapnea
-
Udema
otak
-
Komplikasi
pernafasan
-
Infeksi/
Komplikasi pada organ tubuh yang lain
Kematian pada trauma capitis banyak disebabkan karena
hipotensi karena gangguan pada outoregulasi. Ketika terjadi gangguan tersebut
dapat menimbulkan hipoperfusi jaringan serebral dan berakhir pada iskemia
jaringan otak, karena otak sangat sensitive terhadap oksigen dan glukosa.
Cedera
memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi
patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi
jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma
akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera
perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif
tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin
terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak
langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat.
Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
7. Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan klinis biasa yang di pakai untuk
menentukan cedera kepala menggunakan pemeriksaan GCS yang di kelompokkan
menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat seperti yang diatas
Nyeri yang menetap atau setempat,
biasanya menunjukkan adanya fraktur. ( SMELTZER, SUZANNA, 2010)
a)
Fraktur
kubah cranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur
b)
Fraktur
dasar tengkorak di cururigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung
c)
Laserasi
atau kontusio otak ditunjukan oleh cairan spinal berdarah hematom pada cedera
kepala :
1.
Epidurah
Hematom (EDH) : hematom antara durameter dan
Tulang, biasanya sumber
perdarahannya adalah robeknya arteri meningica media.
2.
Subdural
Hematom (SDH) : hematom di bawah lapisan dura
Meter dengan sumber
perdarahan dapat berasal dari bridging vein, a/v cortical, sinus venous.
Subdural hematom adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak,
dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena
perdarahan lambat dan sedikit. (SATYANEGARA, 2010)
Secara umum menurut Tarwoto, 2010 ,tanda dan gejala pada trauma
capitis meliputi ada atau tidaknya fraktur tengkorak, tingkat kesadaran dan
kerusakan jaringan otak
a.
Fraktur
tengkorak
Fraktur tengkorak dapat
melukai pembulu darah dan saraf-saraf otak. Jika terjadi fraktur tengkorak
kemungkinan yang terjadi adalah:
1)
Keluarnya
cairan serebrospinal atau cairan lain dari hidung (rhinorrhoe) dan telinga (otorrhoe)
2)
Kerusakan
saraf cranial
3)
Perdarahan
di belakang membrane timpani
Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan
adanya gangguan pada saraf cranial dan kerusakan bagian dalam telinga. Sehingga
kemungkinan tanda dan gejalanya:
1)
Perubahan
tajam penglihatan karena kerusakan nervus opticus
2)
Kehilangan
pendegaran karena kerusakan pada nervus auditoring
3)
Dilatasi
pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan bebarapa otot mata karena kerusakan
nervus okulomotorius
4)
Nistagmus
karena kerusakan pada system vestibulur
5)
Warna
kebiruan di belakang telinga diatas mastoid
b.
Kesadaran
Tingkat kesadaran pasien
tergantung berat ringannya trauma capitis, mual dan muntah
c.
Kerusakan
jaringan otak
Menifestasi klinik kerusakan
jaringan otak bervariasi tergantung dari trauma capitis. Untuk melihat adanya
kerusakan trauma kapitis perlu dilakukan pemeriksaan CT-Scan atau MRI
8. Pemeriksaan diagnostik/ penunjang
Pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan menurut Tarwoto,
2010 antara lain :
a.
Foto
tengkorak :
Mengetahui adanya
fraktur tengkorak (simple, depresi, kommuniti), fragmen tulang
b.
Foto
servical: Mengetahui adanya fraktur servikal
c.
CT
scan:
Kemungkinan adanya subdural hematum, intraserebral hematum,
keadaan ventrikal
d.
MRI
: Sama dengan CT scan
e.
Serum
alcohol :
Mendeteksi penggunaan alcohol sebelum trauma capitis,
dilakukan terutama pada trauma capitis akibat kecelakaan lalu lintas
f.
Pemeriksaan
obat dalam urine :
Mengetahui pemakaian obat sebelum kejadian
g.
Serum
human chorionic gonadotropin : mendeteksi kehamilan
9. Penatalaksanaan Medik
Menurut Tarwoto, 2010 halaman 130
a.
Penatalaksanaan
umum
1)
Monitor
respirasi : bebaskan jalan napas, monitoring keadaan ventilasi, periksaan AGD,
berikan oksigen jika perlu
2)
Monitoring
tekanan intracranial (TIK)
3)
Atasi
syok bila ada
4)
Control
tanda vital
5)
Keseimbangan
cairan dan elektrolit
b.
Operasi
Dilakukan untuk mengeluarkan
darah pada intraserebral, debridement luka, kranioplasti, Prosedur shunting
pada hidrosepalus, kraniotomi
c.
pengobatan
1)
Diuretic
: untuk mengurangi edema serebral misalnya monitol 20%, furosemid (lasik)
2)
Antikonvulsan
: untuk menghentikan kejang misalnya dengan dilantin, tegretol, valium.
3)
Kortikosteroid
: untuk menghambat pembentukan edema misalnya dengan dekxametason.
4)
Antagonis
histamine : mencegah terjadinya iritasi lambung karena hipersekresi akibat efek
trauma kepala misalnya dengan cemetidin, ranitidine
5)
Antibiotic
jika terjadi luka yang besar
B.
Konsep
Asuhan Keperawatan Trauma capitis
Proses keperawatan adalah
suatu metode yang sistimatis dan ilmiah yang digunakan perawat dalam mencapai
atau mempertahankan keadaan biopsikososial spiritual yang optimal melalui tahap
pengkajian, identifikasi diagnosis keperawatan, penentuan rencana keperawatan,
implementasi tindakan keperawatan, serta evaluasi (TARWOTO, 2010)
1. Pengkajian
a.
Dasar Data Pengkajian Klien
Data tergantung pada tipe, lokasi, dan
keparahan cedera dan mungkin dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ
vital.
b.
Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa
lemah, lelah, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, hemiparese
quadreplegia, ataksia, cara berjalan tak tegap. Masalah dalam keseimbangan
cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik.
c.
Sirkulasi
Gejala
: Perubahan
tekanan darah atau normal (hipertensi).
Tanda : Perubahan
frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
d.
Integritas Ego
Gejala
: Perubahan
tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
Tanda
: Cemas,
mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
e.
Eliminasi
Gejala
: Inkontinentia
kandungan kemih/ usus atau mengalami gangguan fungsi.
f.
Makanan/ Cairan
Gejala
: Mual,
muntah, dan mengalami perubahan selera.
Tanda
: Muntah.
Gangguan menelan
g.
Neurosensori
Gejala
: Kehilangan
kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran,. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia,
lapang pandang menyempit.
Tanda ; Perubahan kesadaran sampai koma.
Perubahan
status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan
masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan
pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidak mampuan
mengikuti.
Kehilangan
penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran.
Wajah
tidak simetri.
Genggaman
lemah, tidak seimbang.
Apraksia,
hemiparise, quedreplegia.
Postur
(dekortikasi, deserebrasi), kejang.
Sangat
sensitif terhadap sentuhan dan gerakan.
Kehilangan
sensasi sebagian tubuh.
h.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala
: Sakit
kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda
: Wajah
menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak
bisa beristirahat, merintih.
i.
Pernapasan
Tanda
: Perubahan
pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor,
tersedak. Ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
j.
Keamanan
Gejala
: Trauma
baru/ trauma karena kecelakaan.
Tanda
: Fraktur/
dislokasi.
Gangguan
penglihatan
Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna,
seperti “raccoon eye” tanda Batle di sekitar telinga (merupakan tanda adanya
trauma).. Adanya aliran cairan
(drainase) dari telinga/hidung
(CSS).
Gangguan
kognitif.
Gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralysis.
k.
Interaksi Sosial
Tanda
: Afasia motorik atau sensorik, bicara
tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia.
l.
Pemenuhan Pembelajaran
Gejala
: penggunaan alkohol/obnat lain.
Pertimbangan
Rencana Pemulangan :
Membutuhkan bantuan
pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja,
perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang dan
penempatan fasilitas lainnya di rumah.
m.
Pemeriksaan Diagnostik
Scan CT :
(tanpa/dengan kontras: mengidentifikasi adanya SOL,
hemoragic, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan
pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena iskemia/ infark mungkin tidak
terdeteksi dalam 24 – 72 jam pascatrauma.
MRI :
Sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan
kontras.
Angiografi serebral :
Menunjukan kelaianan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
EEG :
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis,
Sinar X :
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
(fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema),
adanya fragmen tulang.
BAER (Brain Auditori Evoked Respons). :
Menentuk fungsi korteks dan batang otak.
PET (Positron Emission Tomografi) :
Menunjukan perubahan aktivitas metabolisme dalam
otak.
Pungsi Lumbal, CSS :
Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarachniod .
GDA (Gas Darah Arteri) :
Mengetahuai adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang dapat meningkatkan TIK..
Kimia/Eolektrolit Darah :
Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan
TIK/perubahan mental.
Pemeriksaan
Toksikologi :
Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab dalam penurunan kesadaran.
Kadar Antikonvulsan Darah :
Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk
mengatasi kejang.
2.
Prioritas Keperawatan
a.
Memaksimalkan
perfusi/fungsi serebral.
b.
Mencegah
atau meminimalkan komplikasi.
c.
Mengoptimalkan
fungsi otak/mengembalikan pada keadaan sebelum terjadi trauma.
d.
Menyokong
proses koping dan pemulihan keluarga.
e.
Memberikan
informasi mengenai proses/prognosis penyakit, rencana tindakan dan sumber daya
yang ada .
3.
Tujuan Pemulangan
a.
Fungsi
serebral meningkat ; defisit neurology dapat diperbaiki atau distabilkan (tidak
berkembang lagi)
b.
Komplikasi
tidak terjadi.
c.
AKS
(Aktivitas Kegiatan sehari-hari) dapat terpenuhi sendiri atau dengan bantuan
orang lain.
4.
Diagnosa Keperawatan dan Intervensi menurut Nanda, 2011
a.
Diagnosa keperawatan : gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan penurunan suplai
darah ke jaringan cerebral ditandai dengan :
Perubahan
tingkat kesadaran, kehilangan memori, penurunan
respon motorik, sernsorik, gelisah, perubahan tanda vital
Tujuan : Mempertahankan
tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognitif, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria
: Tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Tabel 2.1 : Diagnosa keperawatan ; Gangguan perfusi jaringan cerebral
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Tentukan
faktor penyebab penurunan kesadaran
2.
Observasi
tanda-tanda Vital
3.
Nilai
tingkat kesadaran (respon Gaslow Coma Scale)
4.
Observasi
adanya aktivitas kejang
5.
Evaluasi
kemampouan membuka mata, seperti
spontan (sadar penuh), membuka hanya jika diberi rangsangan nyeri, atau tetap
tertutup (koma).
6.
Kaji
respon verbal; catat apakah pasien sadar, orientasi terhadap
orang, waktu dan tempat baik atau malah bingung; menggunakan kata-kata/frase
yang tidak sesuai.
7.
Kaji
respon motorik terhadap perintah yang sederhana, gerakan yang bertujuan
(patuh terhadap perintah, berusaha untuk menghilangkan rangsang nyeri yang
diberikan) dan gerakan yang tidak bertujuan (kelainan postur tubuh). Catat
gerakan anggota tubuh dan catat sisi kiri dan kanan secara terpisah .
|
1.
Menentukan
penetapan intervensi selanjutnya
2.
Perubahan
tanda vital menunjukkan tingkat kerusakan pada otak
3.
Mengetahui
tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK
4.
Kejang
tanda peningkatan TIK
5. Menentukan tingkat kesadaran.
6. mengukur kesesuaian dalam
berbicara dan menentukan tingkat
kesadaran.
7. Mengukur kesadaran secara
keseluruhan dan kemamppuam untuk berespon pada rangsangan eksternal dan
merupakan petunjuk keadaan kesadaran terbaik pada pasien yang matanya
tertutup sebagai akibat pasien trauma
|
b.
Diagnosa Keperawatan : nyeri berhubungan dengan cidera
kepala.
Tujuan : Muengurangi
rasa nyeri pasien.
Tabel 2.2 : Diagnosa keperawatan ; nyeri berhubungan dengan cidera
kepala
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji
tingkat nyeri
2.
Ukur
tanda-tanda vital
3.
Alihkan
perhatian jika nyeri timbul
4.
Ajarkan
tehnik relaksasi
5.
Berikan
posisi yang nyaman
6.
Penatalaksanaan
pemberian obat Analgetik
|
1.
Data
dasar intervensi selanjutnya
2.
Memantau perkembangan klien
3.
Membantu
mengalihkan perhatian sehingga nyeri yang dipersepsikan berkurang
4.
Tehnik
relaksasi memenuhhi kebutuhan oksigenasi ke otak.
5.
Memberikan
efek kenyamanan sehingga nyeri berkurang
6.
Penggunaan
analgetik menghambat persepsi nyeri
|
c.
Diagnosa keperawatan : Perubahan Persepsi sensori berhubungan
dengan perubahan resepsi sensori, transmisi dan/atau integrasi (trauma atau
defisit neureologis, ditandai dengan :
Disorientasi
waktu, tempat dan orang; perubahan dalam respons terhadap rangsang;
inkoordinasi motorik; perubahan dalam postur; ketidakmampuan untuk memberitahu
posisi bagian tubuh (propiosepsi);
perubahan pola komunikasi, distorsi audiotorius dan visual; konsentrasi buruk,
perubahan proses berpikir/berpikir ngacau.
Tujuan : Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran
biasanya dan fungsi persepsi.
Kriteria : Mengakui
perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlambatan residu. Mendemonstrasikan
perubahan perilaku/gaya hidup untuk mengkompensasi/ defisit hasil.
Tabel 2.3 : Diagnosa keperawatan ; perubahan persepsi
sensori
Intervensi
|
Rasional
|
1. Evaluasi/pantau secara teratur
perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan/afektif, sensorik dan
proses piker
2. Kaji kesadaran sensorik
seperti respon sentuhan, panas/dingin, benda tajam/tumpul dan kesadaran
terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan adanya masalah penglihatan atau
sensasi yang lain.
3. Hilangkan suara bising/stimuli
yang berlebihan sesuai kebutuhan
4. Buat jadual istirahat yang
adekuat/periode tidur tanpa adanya gangguan.
5. Gunakan penerangan siang atau
malam hari.
Kolaborasi :
6. Rujuk pada ahli fisioterapi,
terapi okupasi, terpi wicara, dan terapi kognitif.
|
1. Fungsi serebral bagian atas
biasanya terlebih dahulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi.
Kerusakan dapat terjadi saat trauma awal atau kadang-kadang berkembang
setelahnya akibat dari pembengkakan atau perdarahan. Perubahan motorik,
persepsi, kognitif dan kepribadian mungkin berkembang dan menetap dengan
perbaikan respons secara perlahan-lahan atau tetap bertahan secara terus
menerus pada derajat tertentu.
2. Informasi penting untuk
keamanan pasien. Semua sistem sensorik dapat terpengaruh dengan adanya
perubahan yang melibatkan peningkatan atau penurunan sensitivitas atau
kehilangan sensasi/kemampuan untuk
menerima dan berespons secara sesuai pada suatu stimuli.
3. menurunkan ansietas, respon
emosi yang berlebihan/bingung yang berhubungan dengan sensorik yang
berlebihan.
4. Mengurangi kelelahan, mencegah
kejenuhan, memberikan kesempatan untuk tidur REM (ketidakadanya tidur REM ini
dapat meningkatkan gangguan persepsi sensorik).
5. Memberikan perasaan normal
tentang pola perubahan waktu dan pola tidur/bangun.
Kolaborasi
6. Pendekatan antar disiplin
dapat menciptakan rencana penatalaksanaan terintegrasi yang didasarkan atas
kombinasi kemampuan/ketidakmampuan secara individu yang unik dengan
berfokus pada peningkatan evaluasi dan
fungsi fisik, dan ketrampilan perceptual.
|
d.
Diagnosa keperawatan : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan
dengan kerusakan persepsi atau kognitif ditandai dengan : ketidakmampuan
bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik, termasuk mobilitas ditempat
tidur, pemindahan, ambulasi. Kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak,
penurunan kekuatan kontrol otot.
Tujuan : Melakukan kembali/mempertahankan
posisi fungsi optimal dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur, footdrop.
Kriteria hasil :
Mempertahankan/ meningkatkan kekuatan dan fungsi
bagian tubuh yang sakit dan/kompensasi. Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang
memungkinkan dilakukannya kembali aktivitas. Mempertahankan integritas kulit,
kandung kemih dan fungsi usus.
Tabel 2.4 : Diagnosa keperawatan ; kerusakan mobilitas
fisik
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Periksa
kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
2.
Kaji
derajat imobilisasi klien
dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4).
3.
Beri/Bantu
untuk melakukan latihan rentang gerak.
4.
Berikan
perawatan kulit yang cermat, masase dengan pelembab, dan ganti linen/pakaian
yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih dan bebas dari kerutan
(jaga tetap tegang).
5.
Pantau
haluaran urine. Catat warna dan bau dari urine. Bantu dengan latihan kandung
kemih jika memungkinkan.
6.
Berikan
cairan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi (contoh toleransi neurologis
dan jantung).
|
1.
Mengidentifikasi
kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi
yang akan dilakukan.
2.
Pasien
mampu mandiri (nilai 0) atau memerlukan bantuan/ peralatan yang minimal (nilai
1); memerlukan
bantuan sedang/dengan pengawasan/
diajarkan (nilai 2); memerlukan bantuan/peralatan
yang terus menerus dan alat khusus (nilai 3); atau tergantung secara total
pada pemberi asuhan (nilai 4). Seseorang dalam semua kategori sama-sama
mempunyai risiko kecelakaan, namun kategori dengan nilai 2 – 4 mempunyai
risiko yang terbesar untuk terjadinya bahaya tersebut sehubungan imobilisasi.
3.
Mempertahankan
mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal ekstremitas dan menurunkan
terjadinya vena yang statis.
4.
Meningkatkan
sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan risiko terjadinya ekskoriasi
kulit
5.
Pemakaian
kateter Foley selama fase akut memungkinkan dibutuhkan untuk jangka waktu
yang panjang sebelum memungkinkan untuk dilakukan latihan kandung kemih. Saat
kateter dilepas, beberapa metode kontrol dapat dicoba seperti kateterisasi
intermiten (selama pengosongan sebagian atau seluruhnya);kateter eksternal,
interval diatas pispot memberikan duk inkontinen.
6.
Sesaat
setelah fase akut trauma kapitis, dan jika pasien tidak memiliki faktor
kontraindikasi yang lain, pemberian cairan yang memadai akan menurunkan
risiko terjadinya infeksi saluran kemih/batu ginjal/batu kandung kemih dan
berpengaruh cukup baik terhadap konsistensi feses yang normal dan turgor
kulit menjadi optimal.
|
e.
Diagnosa keperawatan : Risiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan
kerja sillia, statis cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respon inflamasi
(penggunaan steroid), perubahan sistem integritas tertutup (kebocoran CSS).
Tujuan : mempertahankan normotermia,
bebas tanda-tanda infeksi, mencapai penyembuhan luka tepat waktu bila ada.
Tabel 2.5 : Diagnosa keperawatan ; kerusakan mobilitas
fisik
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Berikan
perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
2.
Observasi
daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis jahitan), daerah
yang terpasang alat invasi (terpasang infus dan sebagainya), catat
karakterisitik dari drainase dan adanya inflamasi.
3.
Pantau
suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, mengigil, diaforosis, dan
perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
4.
Anjurkan
untk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus
menerus, observasi karakterisitk sputum.
5.
Berikan
perawatan perawatan perineal. Pertahankan integritas dan sistem drainase
urine tertutup jika menggunakannya. Anjurkan untuk minum adekuat.
6.
Observasi
warna/kejernihan urine. Catat adanya bau busuk (yang tidak enak).
7.
Batasi
pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung yang mengalami
infeksi saluran infeksi bagian atas.
Kolaborasi :
8.
Berikan
antibiotik sesuai indikasi.
9. Ambil bahan pemeriksaan
(spesimen) sesuai indikasi.
|
1.
Cara ini untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial
2.
Deteksi
dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera
dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
3.
Dapat
mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau
tindakan dengan segera.
4.
Peningkatan
mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan risiko terjadinya
pneumonia, atelektasis. Catatan : Drainase
postural harus digunakan dengan hati-hati jika ada risiko terjadinya
peningkatan TIK.
5.
Menurunkan
kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri atau infeksi yang merambah naik.
6.
Sebagai
indicator dari perkembangan infeksi pada saluran kemih yang memerlukan
tindakan dengan segera.
7.
Menurunkan
pemajanan terhadap “pembawa kuman penyebab infeksi”
Kolaborasi
:
8.
Terapi
profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma (perlukaan),
kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan risiko
terjadinya infeksi nosokomial.
9.
Kultur/sensitivitas,
pewarnaan gram Gram dapat dilakukan untuk memastikan adanya infeksi dan
mengidentifikasi organisme penyebab dan untuk menentukan obat pilihan yang
sesuai.
|
f.
Diagnosa keperawatan : Risiko tinggi perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien
(penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah
dan menelan, status hipermetabolik.
Tujuan :
Mendemonstrasikan kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan. Tidak
mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam batas-batas
normal.
Tabel 2.6 : Diagnosa keperawatan ; risiko tinggi
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji
kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi.
2.
Auskultasi
bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara yang hiperaktif.
3.
Timbang
berat badan sesuai indikasi.
4.
Jaga
keamanan saat memberikan makan pada pasien seperti tinggikan kepala tempat
tidur selama makan atau selamam pemberian makan lewat NGT.
5.
Berikan
makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.
6.
Tingkatkan
kenyaman, lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan. Anjurkan
orang terdekat untuk membawa makanan yang disukai pasien.
7.
Kolaborasi
:
a.
Konsultasi
dengan ahli gizi
b.
Pantau
pemeriksaan laboratorium seperti albumin darah, zat besi, ureum/kreatinin,
glukosa, AST/ALT dan elektrolit darah.
c.
Berikan
makan dengan cara yang sesuai seperti melalui NGT, melalui oral dengan
makanan lunak dan cairan yang agak kental.
|
1.
Menentukan
pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien terlindung dari aspirasi
2.
Bising
usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau berkembangnya
komplikasi seperti paralitik ileus.
3.
Mengevaluasi
keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
4.
Menurunkan
risiko regurgitasi atau terjadinya aspirasi.
5.
Meningkatkan
proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan yang
dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
6.
Dapat
meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan.
7.
Kolaborasi
a.
Merupakan
sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori/nutrisi
tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, dan keadaan penyakit
sekarang.
b.
mengidentifikasi
defisiensi nutrisi. Fungsi organ dan respons terhadap terapi nutrisi
tersebut.
c.
Pemilihan
rute pemberian tergantung pada kebutuhan dan kemampuan pasien.
|
g.
Diagnosa keperawatan : Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurang pemajanan, tidak mengenal sumber-sumber informasi, kurang
mengingat/keterbatasan kognitif ditandai dengan meminta informasi, pernyataan
salah konsepsi, ketidak akuratan
mengikuti instruksi.
Tujuan :
1) Berpartisipasi dalam proses
belajar.
2) Mengungkapkan pemahaman tentang
kondisi, aturan pengobatan, potensial komplikasi.
3) Melakukan prosedur yang
diperlukan dengan benar.
Tabel 2.7 : Diagnosa keperawatan ; kurang pengetahuan
mengenai kondisi dan kebutuhan
pengobatan
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Evaluasi
kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga keluarganya.
2.
Berikan
kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh
sesudahnya.
3.
Diskusikan
rancana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
4.
Berikan
instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat-obatan dan
faktor-faktor penting lainnya.
5.
Diskusikan
dengan pasien dan orang terdekat perkembangan dari gejala seperti munculnya
tanda dan gejala yang pernah dialaminya saat trauma terjadi (pikiran
melayang, pikiran kacau, mimpi berulang/mimpi buruk), emosi/fisik yang sulit
berespon; perubahan gaya hidup termasuk adaptasi dan tingkah laku yang
merusak.
|
1.
Memungkinkan
untuk menyampaikan informasi yang didasarkan atas kebutuhan secara kebutuhan.
2.
Membantu
dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman pada
keadaan saat ini.
3.
Berbagai
tingkat bantuan perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang
bersifat individual.
4.
Memberikan
penguatan visual dan rujukan setelah sembuh.
5.
Dapat
menjadi tanda adanya eksaserbasi respon pasca traumatik yang dapat terjadi
dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah mengalami trauma.
|
h.
Diagnosa keperawatan : gangguan pola tidur berhubungan
dengan nyeri
Tujuan :
1)
Pasien dapat tidur dengan baik
2)
Ku baik
Tabel 2.8 : Diagnosa keperawatan ;
gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji tingkat
keamanan dan kebutuhan untuk tidur
2. Berikan
lingkungan yang aman
3. Batasi
pengunjung
4. Observasi ttv
5. Berikan informasi akurat dan
konsisten mengenai prognosis
6. Berikan informasi yang dapat
dipercaya dan konsisten, juga dukungan untuk orang terdekat
|
1. Untuk
mengetahui sejauh mana kebutuhan tidur pasien sehingga dapat di jadikan acuan
untuk intervensi selanjutnya
2. Lingkungan
yang nyaman membantu dalam proses tidur
3. Pengunjung
yang banyak dapat mempengaruhi proses tidur pasien
4. Untuk
mengetahui perubahan pada status kesehatan pasien
5. Dapat mengurangi kecemasan agar pasien
lebih mudah untuk beristirahat
6. menciptakan interaksi
interpersonal yang lebih baik dan menurunkan ansietas dan rasa takut.
|
i.
Diagnosa keperawatan : intoleransi aktifitas
berhubungan berhubungan adanya kelemahan fisik
Tujuan :
1)
Aktifitas lancar
2)
Keadaan umum : baik
3)
Kekuatan otot normal
Tabel 2.8 : Diagnosa keperawatan ; intoleransi
aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji tingkat
aktifitas pasien
2. Anjurkan
pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif pada yang cedera maupun tidak
3. Ajarkan
tentang pentingnya melatih extremitas yang luka
4. Bantu klien memenuhi kebutuhan
sehari-harinya dan anjurkan klien agar dapat mengerjakan sebanyak mungkin untuk
dirinya (memandikan klien)
5. Sediakan waktu klien dalam
melakukan aktivitas dengan segenap kemampuannya
6. Berikan pujian terhadap
kemampuan yang dicapai oleh klien dalam menolong dirinya
|
1. Mengetahui
keterbatasan gerak pasien
2. Meningkatkan
aliran darah ke otot dan tulang
3. Mempertahan
aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus dan otot
4. Perawatan ini membantu
memelihara harga diri dan kembali untuk hidup tanpa tergantung kepada orang
lain
5. Mengurangi frustasi yang
sering menyertai kesulitan yang dihadapi bila belajar
6. Untuk memotivasi agar mematuhi
program rehabilitasi secara kontinyu.
|
5. Implementasi
Implementasi
adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan
rencana asuhan keperawatan kedalam bentuk intervensi keperawatan guna
membantu klien dalam mencapai tujuanyang telah ditetapkan. Kemampuan yang harus
dimiliki perawat pada implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif,
kemampuan untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling membantu,
kemampuan melakukan tehnik psikomotor, kemampuan melakukan observasi
sistimatis, kemampuan memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi, dan
kemampuan evaluasi (ASMADI,2011 )
6. Evaluasi
Evaluasi adalah
tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistimatis
dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan
dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi
menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa keluar dari
siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya klien akan masuk kembali
kedalam siklus tersebut mulai dari pengkajian
ulang (reassessment). (ASMADI,2011)

TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Medis
1. Pengertian
Trauma capitis adalah suatu
gangguan traumatic dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai
pendarahan intestiil dalam substansi otak tampak diikuti terputusnya
contiunitas otak (BOUMA, 2010).
Cedera kepala
merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak (MORTON,2012)
Trauma capitis
merupakan trauma, dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah
hemoragi. Pada kasus-kasus kecelakaan lalulintas biasanya kepala yang bergerak
terbentuk atau di pukul kemungkinan yang lebih jarang terjadi bila kepala yang
tidak dapat bergerak karena tertahan sesuatu mengalami benturan
yang menggencetnya. (HARSONO, 2010,).
2.
Klasifikasi cedera kepala
Berdasarkan patologi
a.
Cedera kepala primer
|
b.
Cedera kepala sekunder
Cedera ini
merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut yang terjadi
setelah trauma sehingga meningkatkan TIK yang tak terkendali, meliputi respon
fisiologi cedera otot, termasuk edema cerebral, perubahan biokimia, dan
perubahan hemodinamik cerebral, iskemia cerebral, hipotensi sistemik dan
infeksi local atau sistemik.
Menurut jenis
cedera
a)
Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang
tengkorak dan laserasi 2 meter. Trauma yang menembus tengkorak dan jaringan
otak
b)
Cedera kepala tertutup dapat disamakan pada klien
dengan gegas otak ringan dengan cedera cerebral yang luas.
3. Etiologi
Mekanisme trauma
capitis meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi- deselerasi, coup-
countre coup, dan cedera rotasional.
1)
Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak
menghantam kepala yang tidak bergerak (misalnya, alat pemukul menghantam kepala
atau peluru yang di tembakkan ke kepala)
2)
Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak
membentur obyek diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika
kepala membentur kaca depan mobil, menurut Nanda Nic Noc Edisi Revisi Jilid 1,
2013.
trauma capitis
dapat disebabkan karena :
a.
Kecelakaan lalu lintas
b.
Perkelahian
c.
Jatuh dan cedera olah raga
d.
Adanya benturan sesuatu benda tumpul
e.
Trauma capitis terbuka sering disebabkan oleh peluru
atau pisau
4. Anatomi Fisiologi Susunan Saraf Pusat

Gambar 2.1 :
Anatomi otak( dari winggerd, The Human Body :
Concepts of anatomi &
fisiologi, hal. 258, Harcout Brace College
Publisher
Pembagian
susunan saraf terdiri atas :
a.
Susunan saraf pusat
1)
Medula spinalis
2)
Otak
a)
Otak besar
b)
Otak kecil
c)
Batang otak
b.
Susunan saraf perifer
1)
Susunan saraf somatic
2)
Susunan saraf otonom
a)
Susunan saraf simpatis
b)
Susunan saraf parasimpatis
Otak Terbagi atas :
a.
Otak besar (cerebrum)
Cerebrum (otak
besar) merupakan bagian otak manusia yang terbesar, paling berkembang dan
memiliki fungsi luhur yang paling utama.
Otak
besar terdiri dari substansia abu-abu (grey mater) setebal + 2 cm (
corteks cerebri ) yang berfungsi sebagai pusat intelektual, pusat bicara,
emosi, integrasi sensorik dan motorik, kontrol gerak dan lain-lain. Sedangkan bagian dalam otak merupakan substansia putih
(white matter) berisi “network” serabut-serabut saraf yang memungkinkan antar
bagian otak saling berkomunikasi dan jaringan penyangga saraf yang berfungsi
memberi bentuk otak.
b.
Otak kecil (cerebellum)
Cerebellum
terletak pada bagian bawah dan belakang tengkorak dipisahkan dengan serebrum
oleh fisura transversalis dibelakangi oleh pons varoli dan diatas medulla
oblongata. Organ ini banyak menerima serabut afferent sensoris, merupakan pusat
koordinasi dan integrasi.
Fungsi
cerebellum :
1)
Arkhioserebelum (vestibulosereberum), serabutaferen
berasal dari telinga dalam yang diteruskan oleh nervus VIII (auditorius) untuk
keseimbangan dan rangsangan pendengaran ke otak
2)
Paleaserebelum (spinocereberum) sebagai pusat penerima
inpuls dari reseptor sensasi umum medulla spinalis dan nervus vagus (Trigeminus)
kelopak mata, rahang atas dan bawah, serta otot pengunyah.
3)
Neoserebelum (pontoserebelum). Korteks serebelum
menerima informasi tentang gerakan yang sedang dan yang akan dikerjakan dan
mengatur gerakan sisi badan.
c.
Batang otak (brain stem, truncus cerebri)
Brain stem
(batang otak) keatas berhubungan dengan cerebrum dan medulla. Serebrum melekat
pada batang otak di bagian medulla oblongata. merupakan jalur terakhir dari
otak yang menghubungkannya dengan medulla spinalis. Batang otak ini bertanggung
jawab pada berbagai fungsi otonom seperti kontrol pernapasan, denyut jantung,
tekanan darah, bangun, rangsangan dan perhatian.
5. Mekanisme cedera
Trauma
capitis disebabkan karena adanya
daya/ kekuatan yang mendadak di kepala. Ada tiga mekanisme yang berpengaruh
dalam trauma di kepala yaitu akselarasi, deselarasi dan deformitas. Akselarasi
yaitu jika benda bergerak membentur kepala yang diam. Misalnya pada orang yang
diam kemudian dipukul atau terlempar batu. Deselarasi yaitu jika kepala yang
bergerak membentur benda yang diam, misalnya saat kepala terbentur, deformitas
adalah perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh terjadi akibat trauma, misalnya
adanya fraktur kepala kompresi, ketengangan atau pemotongan pada jaringan otak.
Pada saat terjadinya deselerasi ada kemungkinan terjadi rotasi kepala sehingga
dapat menambah kerusakan. Mekanisme trauma capitis dapat mengakibatkan kerusakan pada daerah dekat
benturan (kup) dan
kerusakan pada daerah yang berlawanan
dengan benturan (kontra
kup) (TARWOTO, 2010)
6.
Patofisologi
Otak dapat berfungsi dengan
baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang di
hasilkan di dalam sel sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan
oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg%,
karena akan menimbulkan coma.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung
sekuncup aktifitas atypical- myocardial, perubahan tekanan faskuler dan udem
paru.
Cedera kepala menurut
patofisiologi di bagi menjadi 2 :
1)
Cedera
kepala primer
Akibat langsung pada
mekanisme dinamik (acelerasi- decelerasi rotasi) yang menyebabkan gangguan pada
jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi :
a)
Gegar
kepala ringan
b)
Memar
otak
c)
Laserasi
2)
Cedera
kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder
akan timbul gejalah, seperti :
-
Hipotensi
sistemik
-
Hipoksia
hiperkapnea
-
Udema
otak
-
Komplikasi
pernafasan
-
Infeksi/
Komplikasi pada organ tubuh yang lain
Kematian pada trauma capitis banyak disebabkan karena
hipotensi karena gangguan pada outoregulasi. Ketika terjadi gangguan tersebut
dapat menimbulkan hipoperfusi jaringan serebral dan berakhir pada iskemia
jaringan otak, karena otak sangat sensitive terhadap oksigen dan glukosa.
Cedera
memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi
patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi
jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma
akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera
perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif
tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin
terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak
langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat.
Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
7. Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan klinis biasa yang di pakai untuk
menentukan cedera kepala menggunakan pemeriksaan GCS yang di kelompokkan
menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat seperti yang diatas
Nyeri yang menetap atau setempat,
biasanya menunjukkan adanya fraktur. ( SMELTZER, SUZANNA, 2010)
a)
Fraktur
kubah cranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur
b)
Fraktur
dasar tengkorak di cururigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung
c)
Laserasi
atau kontusio otak ditunjukan oleh cairan spinal berdarah hematom pada cedera
kepala :
1.
Epidurah
Hematom (EDH) : hematom antara durameter dan
Tulang, biasanya sumber
perdarahannya adalah robeknya arteri meningica media.
2.
Subdural
Hematom (SDH) : hematom di bawah lapisan dura
Meter dengan sumber
perdarahan dapat berasal dari bridging vein, a/v cortical, sinus venous.
Subdural hematom adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak,
dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena
perdarahan lambat dan sedikit. (SATYANEGARA, 2010)
Secara umum menurut Tarwoto, 2010 ,tanda dan gejala pada trauma
capitis meliputi ada atau tidaknya fraktur tengkorak, tingkat kesadaran dan
kerusakan jaringan otak
a.
Fraktur
tengkorak
Fraktur tengkorak dapat
melukai pembulu darah dan saraf-saraf otak. Jika terjadi fraktur tengkorak
kemungkinan yang terjadi adalah:
1)
Keluarnya
cairan serebrospinal atau cairan lain dari hidung (rhinorrhoe) dan telinga (otorrhoe)
2)
Kerusakan
saraf cranial
3)
Perdarahan
di belakang membrane timpani
Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan
adanya gangguan pada saraf cranial dan kerusakan bagian dalam telinga. Sehingga
kemungkinan tanda dan gejalanya:
1)
Perubahan
tajam penglihatan karena kerusakan nervus opticus
2)
Kehilangan
pendegaran karena kerusakan pada nervus auditoring
3)
Dilatasi
pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan bebarapa otot mata karena kerusakan
nervus okulomotorius
4)
Nistagmus
karena kerusakan pada system vestibulur
5)
Warna
kebiruan di belakang telinga diatas mastoid
b.
Kesadaran
Tingkat kesadaran pasien
tergantung berat ringannya trauma capitis, mual dan muntah
c.
Kerusakan
jaringan otak
Menifestasi klinik kerusakan
jaringan otak bervariasi tergantung dari trauma capitis. Untuk melihat adanya
kerusakan trauma kapitis perlu dilakukan pemeriksaan CT-Scan atau MRI
8. Pemeriksaan diagnostik/ penunjang
Pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan menurut Tarwoto,
2010 antara lain :
a.
Foto
tengkorak :
Mengetahui adanya
fraktur tengkorak (simple, depresi, kommuniti), fragmen tulang
b.
Foto
servical: Mengetahui adanya fraktur servikal
c.
CT
scan:
Kemungkinan adanya subdural hematum, intraserebral hematum,
keadaan ventrikal
d.
MRI
: Sama dengan CT scan
e.
Serum
alcohol :
Mendeteksi penggunaan alcohol sebelum trauma capitis,
dilakukan terutama pada trauma capitis akibat kecelakaan lalu lintas
f.
Pemeriksaan
obat dalam urine :
Mengetahui pemakaian obat sebelum kejadian
g.
Serum
human chorionic gonadotropin : mendeteksi kehamilan
9. Penatalaksanaan Medik
Menurut Tarwoto, 2010 halaman 130
a.
Penatalaksanaan
umum
1)
Monitor
respirasi : bebaskan jalan napas, monitoring keadaan ventilasi, periksaan AGD,
berikan oksigen jika perlu
2)
Monitoring
tekanan intracranial (TIK)
3)
Atasi
syok bila ada
4)
Control
tanda vital
5)
Keseimbangan
cairan dan elektrolit
b.
Operasi
Dilakukan untuk mengeluarkan
darah pada intraserebral, debridement luka, kranioplasti, Prosedur shunting
pada hidrosepalus, kraniotomi
c.
pengobatan
1)
Diuretic
: untuk mengurangi edema serebral misalnya monitol 20%, furosemid (lasik)
2)
Antikonvulsan
: untuk menghentikan kejang misalnya dengan dilantin, tegretol, valium.
3)
Kortikosteroid
: untuk menghambat pembentukan edema misalnya dengan dekxametason.
4)
Antagonis
histamine : mencegah terjadinya iritasi lambung karena hipersekresi akibat efek
trauma kepala misalnya dengan cemetidin, ranitidine
5)
Antibiotic
jika terjadi luka yang besar
B.
Konsep
Asuhan Keperawatan Trauma capitis
Proses keperawatan adalah
suatu metode yang sistimatis dan ilmiah yang digunakan perawat dalam mencapai
atau mempertahankan keadaan biopsikososial spiritual yang optimal melalui tahap
pengkajian, identifikasi diagnosis keperawatan, penentuan rencana keperawatan,
implementasi tindakan keperawatan, serta evaluasi (TARWOTO, 2010)
1. Pengkajian
a.
Dasar Data Pengkajian Klien
Data tergantung pada tipe, lokasi, dan
keparahan cedera dan mungkin dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ
vital.
b.
Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa
lemah, lelah, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, hemiparese
quadreplegia, ataksia, cara berjalan tak tegap. Masalah dalam keseimbangan
cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik.
c.
Sirkulasi
Gejala
: Perubahan
tekanan darah atau normal (hipertensi).
Tanda : Perubahan
frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
d.
Integritas Ego
Gejala
: Perubahan
tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
Tanda
: Cemas,
mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
e.
Eliminasi
Gejala
: Inkontinentia
kandungan kemih/ usus atau mengalami gangguan fungsi.
f.
Makanan/ Cairan
Gejala
: Mual,
muntah, dan mengalami perubahan selera.
Tanda
: Muntah.
Gangguan menelan
g.
Neurosensori
Gejala
: Kehilangan
kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran,. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia,
lapang pandang menyempit.
Tanda ; Perubahan kesadaran sampai koma.
Perubahan
status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan
masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan
pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidak mampuan
mengikuti.
Kehilangan
penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran.
Wajah
tidak simetri.
Genggaman
lemah, tidak seimbang.
Apraksia,
hemiparise, quedreplegia.
Postur
(dekortikasi, deserebrasi), kejang.
Sangat
sensitif terhadap sentuhan dan gerakan.
Kehilangan
sensasi sebagian tubuh.
h.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala
: Sakit
kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda
: Wajah
menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak
bisa beristirahat, merintih.
i.
Pernapasan
Tanda
: Perubahan
pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor,
tersedak. Ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
j.
Keamanan
Gejala
: Trauma
baru/ trauma karena kecelakaan.
Tanda
: Fraktur/
dislokasi.
Gangguan
penglihatan
Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna,
seperti “raccoon eye” tanda Batle di sekitar telinga (merupakan tanda adanya
trauma).. Adanya aliran cairan
(drainase) dari telinga/hidung
(CSS).
Gangguan
kognitif.
Gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralysis.
k.
Interaksi Sosial
Tanda
: Afasia motorik atau sensorik, bicara
tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia.
l.
Pemenuhan Pembelajaran
Gejala
: penggunaan alkohol/obnat lain.
Pertimbangan
Rencana Pemulangan :
Membutuhkan bantuan
pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja,
perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang dan
penempatan fasilitas lainnya di rumah.
m.
Pemeriksaan Diagnostik
Scan CT :
(tanpa/dengan kontras: mengidentifikasi adanya SOL,
hemoragic, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan
pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena iskemia/ infark mungkin tidak
terdeteksi dalam 24 – 72 jam pascatrauma.
MRI :
Sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan
kontras.
Angiografi serebral :
Menunjukan kelaianan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
EEG :
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis,
Sinar X :
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
(fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema),
adanya fragmen tulang.
BAER (Brain Auditori Evoked Respons). :
Menentuk fungsi korteks dan batang otak.
PET (Positron Emission Tomografi) :
Menunjukan perubahan aktivitas metabolisme dalam
otak.
Pungsi Lumbal, CSS :
Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarachniod .
GDA (Gas Darah Arteri) :
Mengetahuai adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang dapat meningkatkan TIK..
Kimia/Eolektrolit Darah :
Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan
TIK/perubahan mental.
Pemeriksaan
Toksikologi :
Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab dalam penurunan kesadaran.
Kadar Antikonvulsan Darah :
Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk
mengatasi kejang.
2.
Prioritas Keperawatan
a.
Memaksimalkan
perfusi/fungsi serebral.
b.
Mencegah
atau meminimalkan komplikasi.
c.
Mengoptimalkan
fungsi otak/mengembalikan pada keadaan sebelum terjadi trauma.
d.
Menyokong
proses koping dan pemulihan keluarga.
e.
Memberikan
informasi mengenai proses/prognosis penyakit, rencana tindakan dan sumber daya
yang ada .
3.
Tujuan Pemulangan
a.
Fungsi
serebral meningkat ; defisit neurology dapat diperbaiki atau distabilkan (tidak
berkembang lagi)
b.
Komplikasi
tidak terjadi.
c.
AKS
(Aktivitas Kegiatan sehari-hari) dapat terpenuhi sendiri atau dengan bantuan
orang lain.
4.
Diagnosa Keperawatan dan Intervensi menurut Nanda, 2011
a.
Diagnosa keperawatan : gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan penurunan suplai
darah ke jaringan cerebral ditandai dengan :
Perubahan
tingkat kesadaran, kehilangan memori, penurunan
respon motorik, sernsorik, gelisah, perubahan tanda vital
Tujuan : Mempertahankan
tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognitif, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria
: Tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Tabel 2.1 : Diagnosa keperawatan ; Gangguan perfusi jaringan cerebral
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Tentukan
faktor penyebab penurunan kesadaran
2.
Observasi
tanda-tanda Vital
3.
Nilai
tingkat kesadaran (respon Gaslow Coma Scale)
4.
Observasi
adanya aktivitas kejang
5.
Evaluasi
kemampouan membuka mata, seperti
spontan (sadar penuh), membuka hanya jika diberi rangsangan nyeri, atau tetap
tertutup (koma).
6.
Kaji
respon verbal; catat apakah pasien sadar, orientasi terhadap
orang, waktu dan tempat baik atau malah bingung; menggunakan kata-kata/frase
yang tidak sesuai.
7.
Kaji
respon motorik terhadap perintah yang sederhana, gerakan yang bertujuan
(patuh terhadap perintah, berusaha untuk menghilangkan rangsang nyeri yang
diberikan) dan gerakan yang tidak bertujuan (kelainan postur tubuh). Catat
gerakan anggota tubuh dan catat sisi kiri dan kanan secara terpisah .
|
1.
Menentukan
penetapan intervensi selanjutnya
2.
Perubahan
tanda vital menunjukkan tingkat kerusakan pada otak
3.
Mengetahui
tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK
4.
Kejang
tanda peningkatan TIK
5. Menentukan tingkat kesadaran.
6. mengukur kesesuaian dalam
berbicara dan menentukan tingkat
kesadaran.
7. Mengukur kesadaran secara
keseluruhan dan kemamppuam untuk berespon pada rangsangan eksternal dan
merupakan petunjuk keadaan kesadaran terbaik pada pasien yang matanya
tertutup sebagai akibat pasien trauma
|
b.
Diagnosa Keperawatan : nyeri berhubungan dengan cidera
kepala.
Tujuan : Muengurangi
rasa nyeri pasien.
Tabel 2.2 : Diagnosa keperawatan ; nyeri berhubungan dengan cidera
kepala
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji
tingkat nyeri
2.
Ukur
tanda-tanda vital
3.
Alihkan
perhatian jika nyeri timbul
4.
Ajarkan
tehnik relaksasi
5.
Berikan
posisi yang nyaman
6.
Penatalaksanaan
pemberian obat Analgetik
|
1.
Data
dasar intervensi selanjutnya
2.
Memantau perkembangan klien
3.
Membantu
mengalihkan perhatian sehingga nyeri yang dipersepsikan berkurang
4.
Tehnik
relaksasi memenuhhi kebutuhan oksigenasi ke otak.
5.
Memberikan
efek kenyamanan sehingga nyeri berkurang
6.
Penggunaan
analgetik menghambat persepsi nyeri
|
c.
Diagnosa keperawatan : Perubahan Persepsi sensori berhubungan
dengan perubahan resepsi sensori, transmisi dan/atau integrasi (trauma atau
defisit neureologis, ditandai dengan :
Disorientasi
waktu, tempat dan orang; perubahan dalam respons terhadap rangsang;
inkoordinasi motorik; perubahan dalam postur; ketidakmampuan untuk memberitahu
posisi bagian tubuh (propiosepsi);
perubahan pola komunikasi, distorsi audiotorius dan visual; konsentrasi buruk,
perubahan proses berpikir/berpikir ngacau.
Tujuan : Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran
biasanya dan fungsi persepsi.
Kriteria : Mengakui
perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlambatan residu. Mendemonstrasikan
perubahan perilaku/gaya hidup untuk mengkompensasi/ defisit hasil.
Tabel 2.3 : Diagnosa keperawatan ; perubahan persepsi
sensori
Intervensi
|
Rasional
|
1. Evaluasi/pantau secara teratur
perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan/afektif, sensorik dan
proses piker
2. Kaji kesadaran sensorik
seperti respon sentuhan, panas/dingin, benda tajam/tumpul dan kesadaran
terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan adanya masalah penglihatan atau
sensasi yang lain.
3. Hilangkan suara bising/stimuli
yang berlebihan sesuai kebutuhan
4. Buat jadual istirahat yang
adekuat/periode tidur tanpa adanya gangguan.
5. Gunakan penerangan siang atau
malam hari.
Kolaborasi :
6. Rujuk pada ahli fisioterapi,
terapi okupasi, terpi wicara, dan terapi kognitif.
|
1. Fungsi serebral bagian atas
biasanya terlebih dahulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi.
Kerusakan dapat terjadi saat trauma awal atau kadang-kadang berkembang
setelahnya akibat dari pembengkakan atau perdarahan. Perubahan motorik,
persepsi, kognitif dan kepribadian mungkin berkembang dan menetap dengan
perbaikan respons secara perlahan-lahan atau tetap bertahan secara terus
menerus pada derajat tertentu.
2. Informasi penting untuk
keamanan pasien. Semua sistem sensorik dapat terpengaruh dengan adanya
perubahan yang melibatkan peningkatan atau penurunan sensitivitas atau
kehilangan sensasi/kemampuan untuk
menerima dan berespons secara sesuai pada suatu stimuli.
3. menurunkan ansietas, respon
emosi yang berlebihan/bingung yang berhubungan dengan sensorik yang
berlebihan.
4. Mengurangi kelelahan, mencegah
kejenuhan, memberikan kesempatan untuk tidur REM (ketidakadanya tidur REM ini
dapat meningkatkan gangguan persepsi sensorik).
5. Memberikan perasaan normal
tentang pola perubahan waktu dan pola tidur/bangun.
Kolaborasi
6. Pendekatan antar disiplin
dapat menciptakan rencana penatalaksanaan terintegrasi yang didasarkan atas
kombinasi kemampuan/ketidakmampuan secara individu yang unik dengan
berfokus pada peningkatan evaluasi dan
fungsi fisik, dan ketrampilan perceptual.
|
d.
Diagnosa keperawatan : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan
dengan kerusakan persepsi atau kognitif ditandai dengan : ketidakmampuan
bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik, termasuk mobilitas ditempat
tidur, pemindahan, ambulasi. Kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak,
penurunan kekuatan kontrol otot.
Tujuan : Melakukan kembali/mempertahankan
posisi fungsi optimal dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur, footdrop.
Kriteria hasil :
Mempertahankan/ meningkatkan kekuatan dan fungsi
bagian tubuh yang sakit dan/kompensasi. Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang
memungkinkan dilakukannya kembali aktivitas. Mempertahankan integritas kulit,
kandung kemih dan fungsi usus.
Tabel 2.4 : Diagnosa keperawatan ; kerusakan mobilitas
fisik
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Periksa
kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
2.
Kaji
derajat imobilisasi klien
dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4).
3.
Beri/Bantu
untuk melakukan latihan rentang gerak.
4.
Berikan
perawatan kulit yang cermat, masase dengan pelembab, dan ganti linen/pakaian
yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih dan bebas dari kerutan
(jaga tetap tegang).
5.
Pantau
haluaran urine. Catat warna dan bau dari urine. Bantu dengan latihan kandung
kemih jika memungkinkan.
6.
Berikan
cairan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi (contoh toleransi neurologis
dan jantung).
|
1.
Mengidentifikasi
kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi
yang akan dilakukan.
2.
Pasien
mampu mandiri (nilai 0) atau memerlukan bantuan/ peralatan yang minimal (nilai
1); memerlukan
bantuan sedang/dengan pengawasan/
diajarkan (nilai 2); memerlukan bantuan/peralatan
yang terus menerus dan alat khusus (nilai 3); atau tergantung secara total
pada pemberi asuhan (nilai 4). Seseorang dalam semua kategori sama-sama
mempunyai risiko kecelakaan, namun kategori dengan nilai 2 – 4 mempunyai
risiko yang terbesar untuk terjadinya bahaya tersebut sehubungan imobilisasi.
3.
Mempertahankan
mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal ekstremitas dan menurunkan
terjadinya vena yang statis.
4.
Meningkatkan
sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan risiko terjadinya ekskoriasi
kulit
5.
Pemakaian
kateter Foley selama fase akut memungkinkan dibutuhkan untuk jangka waktu
yang panjang sebelum memungkinkan untuk dilakukan latihan kandung kemih. Saat
kateter dilepas, beberapa metode kontrol dapat dicoba seperti kateterisasi
intermiten (selama pengosongan sebagian atau seluruhnya);kateter eksternal,
interval diatas pispot memberikan duk inkontinen.
6.
Sesaat
setelah fase akut trauma kapitis, dan jika pasien tidak memiliki faktor
kontraindikasi yang lain, pemberian cairan yang memadai akan menurunkan
risiko terjadinya infeksi saluran kemih/batu ginjal/batu kandung kemih dan
berpengaruh cukup baik terhadap konsistensi feses yang normal dan turgor
kulit menjadi optimal.
|
e.
Diagnosa keperawatan : Risiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan
kerja sillia, statis cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respon inflamasi
(penggunaan steroid), perubahan sistem integritas tertutup (kebocoran CSS).
Tujuan : mempertahankan normotermia,
bebas tanda-tanda infeksi, mencapai penyembuhan luka tepat waktu bila ada.
Tabel 2.5 : Diagnosa keperawatan ; kerusakan mobilitas
fisik
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Berikan
perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
2.
Observasi
daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis jahitan), daerah
yang terpasang alat invasi (terpasang infus dan sebagainya), catat
karakterisitik dari drainase dan adanya inflamasi.
3.
Pantau
suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, mengigil, diaforosis, dan
perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
4.
Anjurkan
untk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus
menerus, observasi karakterisitk sputum.
5.
Berikan
perawatan perawatan perineal. Pertahankan integritas dan sistem drainase
urine tertutup jika menggunakannya. Anjurkan untuk minum adekuat.
6.
Observasi
warna/kejernihan urine. Catat adanya bau busuk (yang tidak enak).
7.
Batasi
pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung yang mengalami
infeksi saluran infeksi bagian atas.
Kolaborasi :
8.
Berikan
antibiotik sesuai indikasi.
9. Ambil bahan pemeriksaan
(spesimen) sesuai indikasi.
|
1.
Cara ini untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial
2.
Deteksi
dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera
dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
3.
Dapat
mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau
tindakan dengan segera.
4.
Peningkatan
mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan risiko terjadinya
pneumonia, atelektasis. Catatan : Drainase
postural harus digunakan dengan hati-hati jika ada risiko terjadinya
peningkatan TIK.
5.
Menurunkan
kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri atau infeksi yang merambah naik.
6.
Sebagai
indicator dari perkembangan infeksi pada saluran kemih yang memerlukan
tindakan dengan segera.
7.
Menurunkan
pemajanan terhadap “pembawa kuman penyebab infeksi”
Kolaborasi
:
8.
Terapi
profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma (perlukaan),
kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan risiko
terjadinya infeksi nosokomial.
9.
Kultur/sensitivitas,
pewarnaan gram Gram dapat dilakukan untuk memastikan adanya infeksi dan
mengidentifikasi organisme penyebab dan untuk menentukan obat pilihan yang
sesuai.
|
f.
Diagnosa keperawatan : Risiko tinggi perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien
(penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah
dan menelan, status hipermetabolik.
Tujuan :
Mendemonstrasikan kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan. Tidak
mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam batas-batas
normal.
Tabel 2.6 : Diagnosa keperawatan ; risiko tinggi
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji
kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi.
2.
Auskultasi
bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara yang hiperaktif.
3.
Timbang
berat badan sesuai indikasi.
4.
Jaga
keamanan saat memberikan makan pada pasien seperti tinggikan kepala tempat
tidur selama makan atau selamam pemberian makan lewat NGT.
5.
Berikan
makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.
6.
Tingkatkan
kenyaman, lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan. Anjurkan
orang terdekat untuk membawa makanan yang disukai pasien.
7.
Kolaborasi
:
a.
Konsultasi
dengan ahli gizi
b.
Pantau
pemeriksaan laboratorium seperti albumin darah, zat besi, ureum/kreatinin,
glukosa, AST/ALT dan elektrolit darah.
c.
Berikan
makan dengan cara yang sesuai seperti melalui NGT, melalui oral dengan
makanan lunak dan cairan yang agak kental.
|
1.
Menentukan
pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien terlindung dari aspirasi
2.
Bising
usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau berkembangnya
komplikasi seperti paralitik ileus.
3.
Mengevaluasi
keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
4.
Menurunkan
risiko regurgitasi atau terjadinya aspirasi.
5.
Meningkatkan
proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan yang
dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
6.
Dapat
meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan.
7.
Kolaborasi
a.
Merupakan
sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori/nutrisi
tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, dan keadaan penyakit
sekarang.
b.
mengidentifikasi
defisiensi nutrisi. Fungsi organ dan respons terhadap terapi nutrisi
tersebut.
c.
Pemilihan
rute pemberian tergantung pada kebutuhan dan kemampuan pasien.
|
g.
Diagnosa keperawatan : Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurang pemajanan, tidak mengenal sumber-sumber informasi, kurang
mengingat/keterbatasan kognitif ditandai dengan meminta informasi, pernyataan
salah konsepsi, ketidak akuratan
mengikuti instruksi.
Tujuan :
1) Berpartisipasi dalam proses
belajar.
2) Mengungkapkan pemahaman tentang
kondisi, aturan pengobatan, potensial komplikasi.
3) Melakukan prosedur yang
diperlukan dengan benar.
Tabel 2.7 : Diagnosa keperawatan ; kurang pengetahuan
mengenai kondisi dan kebutuhan
pengobatan
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Evaluasi
kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga keluarganya.
2.
Berikan
kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh
sesudahnya.
3.
Diskusikan
rancana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
4.
Berikan
instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat-obatan dan
faktor-faktor penting lainnya.
5.
Diskusikan
dengan pasien dan orang terdekat perkembangan dari gejala seperti munculnya
tanda dan gejala yang pernah dialaminya saat trauma terjadi (pikiran
melayang, pikiran kacau, mimpi berulang/mimpi buruk), emosi/fisik yang sulit
berespon; perubahan gaya hidup termasuk adaptasi dan tingkah laku yang
merusak.
|
1.
Memungkinkan
untuk menyampaikan informasi yang didasarkan atas kebutuhan secara kebutuhan.
2.
Membantu
dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman pada
keadaan saat ini.
3.
Berbagai
tingkat bantuan perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang
bersifat individual.
4.
Memberikan
penguatan visual dan rujukan setelah sembuh.
5.
Dapat
menjadi tanda adanya eksaserbasi respon pasca traumatik yang dapat terjadi
dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah mengalami trauma.
|
h.
Diagnosa keperawatan : gangguan pola tidur berhubungan
dengan nyeri
Tujuan :
1)
Pasien dapat tidur dengan baik
2)
Ku baik
Tabel 2.8 : Diagnosa keperawatan ;
gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji tingkat
keamanan dan kebutuhan untuk tidur
2. Berikan
lingkungan yang aman
3. Batasi
pengunjung
4. Observasi ttv
5. Berikan informasi akurat dan
konsisten mengenai prognosis
6. Berikan informasi yang dapat
dipercaya dan konsisten, juga dukungan untuk orang terdekat
|
1. Untuk
mengetahui sejauh mana kebutuhan tidur pasien sehingga dapat di jadikan acuan
untuk intervensi selanjutnya
2. Lingkungan
yang nyaman membantu dalam proses tidur
3. Pengunjung
yang banyak dapat mempengaruhi proses tidur pasien
4. Untuk
mengetahui perubahan pada status kesehatan pasien
5. Dapat mengurangi kecemasan agar pasien
lebih mudah untuk beristirahat
6. menciptakan interaksi
interpersonal yang lebih baik dan menurunkan ansietas dan rasa takut.
|
i.
Diagnosa keperawatan : intoleransi aktifitas
berhubungan berhubungan adanya kelemahan fisik
Tujuan :
1)
Aktifitas lancar
2)
Keadaan umum : baik
3)
Kekuatan otot normal
Tabel 2.8 : Diagnosa keperawatan ; intoleransi
aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji tingkat
aktifitas pasien
2. Anjurkan
pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif pada yang cedera maupun tidak
3. Ajarkan
tentang pentingnya melatih extremitas yang luka
4. Bantu klien memenuhi kebutuhan
sehari-harinya dan anjurkan klien agar dapat mengerjakan sebanyak mungkin untuk
dirinya (memandikan klien)
5. Sediakan waktu klien dalam
melakukan aktivitas dengan segenap kemampuannya
6. Berikan pujian terhadap
kemampuan yang dicapai oleh klien dalam menolong dirinya
|
1. Mengetahui
keterbatasan gerak pasien
2. Meningkatkan
aliran darah ke otot dan tulang
3. Mempertahan
aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus dan otot
4. Perawatan ini membantu
memelihara harga diri dan kembali untuk hidup tanpa tergantung kepada orang
lain
5. Mengurangi frustasi yang
sering menyertai kesulitan yang dihadapi bila belajar
6. Untuk memotivasi agar mematuhi
program rehabilitasi secara kontinyu.
|
5. Implementasi
Implementasi
adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan
rencana asuhan keperawatan kedalam bentuk intervensi keperawatan guna
membantu klien dalam mencapai tujuanyang telah ditetapkan. Kemampuan yang harus
dimiliki perawat pada implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif,
kemampuan untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling membantu,
kemampuan melakukan tehnik psikomotor, kemampuan melakukan observasi
sistimatis, kemampuan memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi, dan
kemampuan evaluasi (ASMADI,2011 )
6. Evaluasi
Evaluasi adalah
tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistimatis
dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan
dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi
menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa keluar dari
siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya klien akan masuk kembali
kedalam siklus tersebut mulai dari pengkajian
ulang (reassessment). (ASMADI,2011)
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi,2011. “Konsep Dasar Keperawatan” Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Nanda internasional, 2011. Nursing diagnoses: definition And Classification. Alih
bahasa : Made Sumarwati, dkk. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzane C, Buku Ajar Keparawatan Medikal
Bedah Brunner & suddarth edisi 8 Vol Jakarta : EGC, 2011
Mansjoer,A 2010. “Kapita Selekta Kedokteran”
Edisi 3 Jilid 2. Media Aesculapius, Jakarta
Nanda, 2011. “Diagnosa Keperawatan Sistem persarafan” Jakarta
: EGC
Tarwoto. 2010. “Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan”
Salemba Medika, Jakarta
sumber:http://harnawatiaj.wordpress.com/2010/04/16/askep-trauma-capitis/
|
luckyclub.live【VIP】Gambling tips & reviews
BalasHapusLucky Club luckyclub.live is a new online gambling website that's been developing and operating since 2014, with more than 150 000 customers in the business. Its goal is to bring all of the