Selasa, 20 Juni 2017

Benign prostatic hyperplasia (BPH)



A.   KONSEP DASAR MEDIS
1.   PENGERTIAN
                  Benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yuliana Elin, 2011 dikutip oleh Nurarif & Kusuma, 2013).
                  Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu penyakit pembesaran atau hipertrofi dari prostat. Kata-kata hipertrofi seringkali menimbulkan kontroversi di kalangan klinik karena sering rancu dengan hyperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa dari segi kualitas terjadi pembesaran sel, namun tidak diikuti oleh jumlah (kuantitas). Sedangkan hyperplasia merupakan pembesaran ukuran sel (kualitas) dan diikuti oleh penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH seringkali menyebabkan gangguan dalam eliminasi urine karena pembesaran prostat yang cenderung kearah depan / menekan vesika urinaria  (Baugman, 2000 dikutip oleh Prabowo & Eka, 2014).
9
 
                  BPH (benigna Prostat Hiperplasia) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi dan ritriksi pada jalan urine (urethra) (M.Clevo Rendy & Margareth TH, 2012).
                  Dari beberapa pendapat para ahli di atas mengenai Benigna Prostat Hiperplasia, maka dari itu dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat Hiperplasia merupakan keadaan dimana terjadi pembesaran prostat ke arah depan / menekan vesika urinaria sehingga terjadi obstruksi dan ritriksi pada jalan urine (uretra).
2.    ANATOMI FISIOLOGI
                  nuf
            Gambar 2.1. Sistem Perkemihan (NIDDK, 2008)                
            Sistem perkemihan atau sistem urinaria adalah suatu sistem tubuh tempat terjadinya proses filtrasi atau penyaringan darah sehingga darah terbebas dari zat-zat yang tidak digunakan lagi oleh tubuh. Selain itu pada sistem ini juga terjadi proses penyerapan zat-zat yang masih dipergunakan lagi oleh tubuh.                   
                  Kelenjar prostat terletak tepat dibawah leher kandung kemih. Kelenjar ini mengelilingi uretra dan dipotong melintang oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari vas deferen. Kelenjar ini berbentuk seperti buah kenari. Normal berat ± 20 gram, didalamnya berjalan uretra posterior ± 2,5 cm. pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum pubroprostatikum dan sebelah inferior oleh diafragma urogenital. Pada prostat bagian posterior bermuara duktus ejakulatorius yang berjalan miring dan berakhir pada verumentarum pada dasar uretra prostatika tepat proksimal dan sfingter uretra eksternal. Secara embriologi, prostat berasal dari lima evaginasi epitel uretra posterior. Suplai darah prostat diperdarahi oleh arteri vesikalis inferior dan masuk pada posisi postero lateralis leher vesika drinase vena.
                  Prostat bersifat difus dan bermuara kedalam pleksus santorini. Persarafan prostat terutama berasal dari simpatik pleksus hipogastrikus dan serabut yang berasal dari nervus sakralis ketiga dan keempat melalui pleksus sakralis. Drainase limfe prostat ke nadi limfatisi obturatoria, iliaka eksterna dan presakralis, serta sangat penting dalam mengevaluasi luas penyebaran penyakit dari prostat.
                  Fungsi prostat adalah menambah cairan alkalis pada cairan seminalis yang berguna untuk melindungi spermatozoa terhadap sifat asam yang terdapat pada uretra dan vagina. Di bawah kelenjar ini terdapat kelenjar bulbo uretralis yang memiliki panjang 2-5 cm. fungsi hampir sama dengan kelenjar prostat. Kelenjar ini menghasilkan sekresi yang penyalurannya dari testis secara kimiawi dan fisiologis sesuai kebutuhan spermatozoa. Sewaktu perangsangan seksual, prostat mengeluarkan cairan yang encer seperti susu yang mengandung berbagai enzim dan ion ke dalam duktus ejakulatorius. Cairan ini menambah volume cairan vesikula seminalis dan sperma. Cairan prostat bersifat basa (alkalis). Sewaktu mengendap di cairan wanita, bersama ejakulat yang lain cairan ini dibutuhkan karena motilitas sperma akan berkurang dalam lingkungan dengan pH rendah (Elizabeth J. C, 2009 dikutip oleh Wijaya & Mariza, 2013).
3.    ETIOLOGI
                  Penyebab belum diketahui secara pasti dari hyperplasia prostat, namun faktor usia dan hormonal menjadi faktor predisposisi terjadinya BPH.
                  Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostat sangat erat kaitannya dengan (Purnomo, 2007 dikutip oleh Prabowo & Eka, 2014) :
a.    Peningkatan DHT (dehidrotestosteron)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasia.
b.    Ketidakseimbangan estrogen-testosteron
Ketidakseimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses penuaan, pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan hormone testosteron. Hal ini memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostat.
c.    Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel, sehingga akan terjadi BPH.
d.    Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e.    Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu terjadi Benigna prostat hiperplasia.
4.   INSIDEN
Menurut usia, insidensi BPH pada usia 40-an kemungkinan seseorang menderita penyakit ini sebesar 40%, dan seiring meningkatnya usia, dalam rentang usia 60-70 tahun, persentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun bisa mencapai 90%. Akan tetapi, jika di lihat secara histology penyakit BPH, secara umum sejumlah 20% pria pada usia 40-an, dan meningkat pada pria berusia 60-an, dan 90% pada usia 70.
Di Indonesia, BPH menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih, dan secara umumn, diperkirakan hampir 50% pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun ditemukan menderita BPH ini. Oleh karena itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih rakyat indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yang berusia 60 tahun dan ke atas adalah kira-kira sejumlah 5 juta, maka dapat dinyatakan kira-kira 2,5 juta pria Indonesia menderita penyakit (UGM, 2011).
5.    MANIFESTASI KLINIK
 Manifestasi klinik Benigna Prostat Hiperplasia yaitu :
a.    Kalau miksi merasa tidak puas.
b.    Urine keluar menetes dan pancaran lemah.
c.    Pada malam hari miksi harus mengejan
d.    Bila miksi terasa panas.
e.    Dysuria, nocturia bertambah berat.
f.     Tidak bisa buang air kecil (kemih tidak puas).
g.    Bisa terjadi infeksi karena sisa air kemih.
h.    Terjadi panas tinggi dan bisa menggigil.
i.      Nyeri pada daerah pinggang (menjalar ke ginjal).
j.    Penderita merasa kesakitan.
k.    Air kemih menetes secara periodik (Wijaya & Mariza, 2013).           
Manifestasi klinik Post Op Benigna Prostat Hiperplasia :
a.    Ekspresi wajah nampak meringis, Nyeri
b.    Susah tidur, gelisah
c.    Nampak adanya luka post Op
d.  Hematuria, penurunan tekanan darah  
e.  Kelemahan otot
f.   Akral dingin, mukosa bibir nampak pucat
g.  Terjadi kecemasan terhadap pembedahan
h.  Kurang pajanan informasi (Harna, 2008).
6.    PATOFISIOLOGI
            Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan fisiologis yang sangat erat dengan dihidrotestosteron (DHT). Hormon ini merupakan hormon yang memacu pertumbuhan prostat sebagai kelenjar ejakulat yang nantinya akan mengoptimalkan fungsinya. Hormon ini disintesis dalam kelenjar prostat dari hormon testosteron dalam darah. Proses sintesis ini dibantu oleh enzim reduktase tipe 2.
                        Selain DHT yang sebagai prekursor, estrogen juga memiliki pengaruh terhadap pembesaran kelenjar prostat. Seiring dengan penambahan usia, maka prostat akan lebih sensitif dengan stimulasi androgen, sedangkan estrogen mampu memberikan proteksi terhadap BPH. Dengan pembesaran yang sudah melebihi normal, maka akan terjadi desakan pada traktus urinarius. Pada tahap awal, obstruksi traktus urinarius jarang manimbulkan keluhan, karena dengan dorongan mengejan dan kontraksi yang kuat dari m. Detrusor mampu mengeluarkan urine secara spontan. Namun, obstruksi yang sudah kronis membuat dekompensasi dari Detrusor untuk berkontraksi yang akhirnya menimbulkan obstruksi saluran kemih (Mitchell 2009 dikutip oleh Prabowo & Eka, 2014).
7.  PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan Laboratorium
1.)  Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
2.)  Pemeriksaan urine lengkap dan kulturnya juga diperlukan.
3.)  PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.
b.   Pemeriksaan Uroflowmetri
Pemeriksaan ini untuk mengetahui kelemahan pancaran urine. Secara objektif pancaran urine dapat dilihat dengan penilaian
                       1.)    Flow rate maksimal > 15 ml / detik = non obstruktif
                      2.)  Flow rate maksimal 10-15 ml / detik = border line
                      3.)  Flow rate maksimal < 10 ml / detik = obstruktif
c.    Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
                      1.)    BOF (Buik Overzich) : untuk mengetahui adanya batu dan metastase pada tulang.
                      2.)    USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual urine. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral, dan supra pubik.
                      3.)    IVP (Pyelografi Intravena), digunakan untuk melihat fungsi eksresi ginjal dan adanya hidronefrosis. Dengan IVP, buli-uli dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikosongkan. Sebelum yaitu untuk melihat adanya intravesikal tumor dan divertikel, sementara yaitu untuk melihat adanya refluks urine, dan sesudah (Post evacuation), untuk melihat residual urine.
                      4.)    Pemeriksaan panendoskop untuk mengetahui keadaan uretra dan buli-buli (Padila, 2012).
8.  PENATALAKSANAAN  
Penatalaksanaan dari BPH (benigna prostat hiperplasia) adalah:
a.    Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien.
b.    Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.
c.    Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah:
1.) Pasien yang mengalami retensi urine akut atau pernah retensi urine akut.
2.)  Pasien dengan residual urine >100 ml.
3.)  Pasien dengan penyulit.
4.)  Terapi medikamentosa tidak berhasil.
5.)  Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan:
1.)  TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat) → 90 – 95%
2.)  Retropubic atau Extravesical Prostatectomy
3.)  Perianal Prostatectomy
4.)  Suprapubic atau Tranvesical Prostatectomy (Padila, 2012).
9.  KOMPLIKASI
a.  Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter,     Hydroneprosis, gagal ginjal
b.  Obstruksi dengan dilatasi uretra
c.  Sistitis dan pielonefritis
d.  Infeksi Saluran Kemih, hemoroid
e.  Hematuria (Wijaya & Mariza, 2013)
B.   KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1.    PENGKAJIAN
a.  Sirkulasi
Tanda        : Peningkatan tekanan darah (efek pembesaran ginjal)
b.  Eliminasi
          Gejala         :
1.)    Penurunan kekuatan / dorongan aliran urine; tetesan lemah
2.)    Keragu-raguan pada berkemih awal
3.)    Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan    lengkap: dorongan dan frekuensi berkemih
4.)    Nokturia, disuria, hematuria
5.)    ISK berulang, riwayat batu (statis urinaria)
6.)    Konstipasi (prostrusi prostat kedalam rektum)
 Tanda         :
1.)    Massa padat dibawah abdomen bawah (distensi kandung kemih),  nyeri tekan kandung kemih
Gejala        :
1.)    Anoreksia ; mual, muntah
2.)    Penurunan berat badan
c.  Nyeri/Kenyamanan
          Gejala         :
1.)    Nyeri supra pubis, panggul
2.)    Nyeri punggung
d.  Keamanan
          Gejala         :
1.)    Demam
e.  Seksualitas
          Gejala         :
1.)    Masalah tentang efek / terapi pada kemampuan seksual
2.)    Takut inkontinensia /  menetes selama hubungan intim
          Tanda         : 
1.)    Pembesaran, nyeri tekan prostat.
f.   Penyuluhan / Pendidikan Kesehatan (HE)
          Gejala         :
1.)    Riwayat keluarga BPH, penyakit ginjal
2.)    Penggunaan antianalgetik, antibiotik, obat yang dijual bebas
3.)    Risiko infeksi
g.  Aktifitas / istirahat
1.)   Riwayat pekerjaan
2.)   Lamanya istirahat
3.)   Aktivitas sehari-hari
4.)   Pengaruh penyakit terhadap aktivitas
5.)   Pengaruh penyakit terhadap istirahat

h.  Hygiene
1.)   Penampilan umum
2.)   Aktifitas sehari-hari
3.)   Kebersihan tubuh
4.)   Frekuensi mandi
                i.   Integritas ego
1.)Pengaruh penyakit terhadap stress
2.)Gaya hidup
3.)Masalah finansial
j.  Neurosensori
 1.)  Apakah ada sakit kepala
 2.)  Status mental
 3.)  Ketajaman penglihatan
k. Pernapasan
                1.)  Apakah ada sesak napas
                2.)  Riwayat merokok
               3.)  Frekwensi pernapasan
               4.)  Bentuk dada
               5.)  Auskultasi
 l.  Interaksi sosial
 1.)  Status perkawinan
  2.) Hubungan dalam masyarakat (Wijaya & Mariza, 2013).
2.    DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berikut ini adalah Diagnosa Keperawatan yang bisa muncul pada pasien dengan Post Op benigna prostat hyperplasia (BPH) :
a.  Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan.
b.  Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan.
c.  Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
d.  Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan.
e.  Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
f.   Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif : alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.
g.  Resiko perdarahan berhubungan dengan post prostatektomi (Nurarif & Kusuma, 2013)
3.    PERENCANAAN (INTERVENSI)
a.  Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
Nursing Outcome Classification (NOC) :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, pasien  akan :
-        Nyeri terkontrol
-        Nyeri berkurang

Dengan kriteria hasil :
-          Tidak ada laporan nyeri
-          Ekspresi wajah tidak meringis, menangis, gerakan melindungi area nyeri
-          Tidak terjadi gangguan istirahat tidur
-          Tanda-tanda vital dalam rentang normal
-          Melaporkan perubahan nyeri (skala, intenisitas, karakteristik )
-          Mampu menggunakan teknik pencegahan nyeri secara farmakologis dan non farmakologis
-     Melaporkan pengendalian nyeri yang dialami
INTERVENSI
RASIONAL
1.    Kaji  tingkat nyeri secara komprehensif
2.    Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
3.    Ajarkan teknik nonfarmako- logis secara kontinyu dalam mengatasi nyer (tekhik relaksasi dan distraksi).
4.    Kaji dan monitoring tanda-tanda vital sebelum dan sesudah memberi analgetik.
5.    Tingkatkan istirahat pasien.

6.    Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.

1.    Peradangan dapat menimbulkan nyeri.
2.    Ketidaknyamanan akan membuat klien gelisah
3.    Teknik relaksasi akan meminimalkan nyeri.


4.    Untuk menentukan intervensi selanjutnya.

5.    Mengurangi sensasi nyeri.
6.    Obat analgetik dapat mengurangi nyeri


b.  Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan
Nursing Outcome Classification (NOC) :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, pasien  akan :
-          Penurunan kecemasan
-          Ceria
-          Nyeri berkurang
-          Tidur : kualitas dan kuantitas baik
Dengan kriteria hasil :
-          Jumlah jam tidur dalam batas normal mencapai 6-8 jam/ hari
-          Pola tidur, Kualitas dalam batas normal
-          Pasien nampak segar sesudah tidur atau istirahat
-          Pasien mengungkapkan sudah bisa tidur
-          Mampu mengidentifikasi hal-hal yang meningkatkan tidur
INTERVENSI
RASIONAL
1. Kaji pola tidur pasien.

2. Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat.
3. Diskusikan dengan pasien dan keluarga tentang teknik tidur pasien.
4. Anjurkan pasien untuk minum air hangat atau susu.
5. Anjurkan pasien untuk menghindari minuman yang mengandung kafein menjelang tidur.
1. Mengidentifikasi intervensi yang tepat.
2. Agar pasien termotivasi untuk tidur lebih awal.
3. Untuk memperoleh tidur yang maksimal/adekuat.

4.Meningkatkan efek relaksasi.
5. Efek kafein 2-4 jam setelah dikonsumsi.

c. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan    pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
Nursing Outcome Classification (NOC) :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, pasien  akan :
-          Mengetahui penyakitnya, pengobatan dan sebagainya.
-          mengetahui tentang penyakit BPH, dibuktikan dengan indicator (1: tidak tahu, 2: pengetahuan terbatas, 3: pengetahuan cukup baik, 4: pengetahuan baik, 5: pengetahuan sangat baik).
Dengan kriteria hasil :
-          Mampu menjelaskan faktor penyebab penyakit dan proses penyakit
-          Mampu menyebutkan tanda dan gejala dari penyakitnya
-          Mampu menjelaskan strategi dalam mengatasi nyeri
-          Mengikuti perintah diet sesuai anjuran
-          Mampu melaksanakan terapi medis dengan benar
INTERVENSI
RASIONAL
1. Nilai tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya.

2. Terangkan kepada pasien tentang proses terjadinya penyakit pada dirinya dengan bahasa yang mudah dimengerti.

3.  Evaluasi tingkat pengetahuan pasien dengan menanyakan kembali seputar penyakitnya
4.   Lakukan informed consent dengan benar kapada pasien
5.   Libatkan keluarga pasien (jika dibutuhkan) selama prosedur berlangsung.
1. Untuk memudahkan menentukan intervensi selanjutnya
2. menambah pengetahuan pasien.




3.  Mengetahui tingkat pengetahuan pasien

4.  Untuk membina hubungan saling percaya
5.  Untuk membantu mengingatkan pasien mengenai intervensi yang akan diberikan.

d. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan.
               Nursing Outcome Classification (NOC) :
        Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, pasien        akan :
-             Tingkat kecemasan
-             Mampu mengotrol kecemasan
-             Coping yang dibuktikan dengan indicator (1: Tidak pernah: 2: Jarang, 3: kadang-kadang, 4: sering, 5: selalu)
Dengan kriteria hasil :
-             Tidak adanya gangguan istirahat, gemetar, gelisah, wajah tegang, iritabilitas meningkat dan marah
-             Tanda-tanda vital dalam rentang normal
-             Mampu memonitoring intensitas kecemasan
-             Mampu mencari informasi untuk mengurangi cemas
-             Menggunakan koping yang efektif dan teknik relaksasi untuk menurunkan ansietas.
-             Mampu merubah gaya hidup untuk mengurangi ansietas dan adaptasi dengan segala bentuk perubahan.
INTERVENSI
RASIONAL
1.  Catat perubahan tingkat kecemasan.

2.  Lakukan masase punggung/ leher.
3.  Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi.
4.  Anjurkan pasien untuk menggunakan  teknik relaksasi.
5.  Gunakan pendekatan yang tenang dan lembut saat bersama pasien.
6.  Ciptakan suasana yang menyenangkan.
1. Untuk mangetahui sejauh mana kecemasan yang dialami pasien.
2. Menurunkan kecemasan.

3.  Mengatasi kecemasan.


4.  Teknik relaksasi akan mengurangi ketegangan otot.

5.  Pendekatan yang baik akan menenangkan pasien.

6.  Mengurangi tingkat kecemasan.

e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. 
Nursing Outcome Classification (NOC) :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, pasien  akan :
-          Berenergi
-          Toleransi aktivitas
-          Mandiri


Dengan kriteria hasil :
-          Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR.
-          Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri
-          Tanda-tanda vital normal
-          Mampu berpindah: dengan atau tanpa bantuan alat
-          Status kardiopulmonary adekuat
-          Status respirasi: pertukaran gas dan ventilasi adekuat
-     Melaporkan pengendalian nyeri yang dialami
INTERVENSI
RASIONAL
1.    Bantu klien mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan.
2.    Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik.
3.    Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, brangkar.
4.    Bantu untuk mengidentifikasi aktifitas yang disukai pasien.

5.    Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik dalam merencanakan program terapi.
1.    Untuk menghindari risiko cedera

2.    Menghindari kelemahan fisik.


3.    Untuk memudahkan mobilisasi fisik

4.    Memotiifasi pasien untuk melakakun aktivitas dan memenuhi kebutuhan secara mandiri.
5.    Membantu proses penyembuhan.
6. 



f. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif : alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.
Nursing Outcome Classification (NOC) :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, pasien  akan :
-          Status Imun
-          Infeksi terkontrol
-          Mengontrol risiko
Dengan kriteria hasil :
-        Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
-          Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang  mempengaruhi penularan, serta penatalaksanaannya
-        Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
-        Jumlah leukosit dalam batas normal
-        Menunjukkan perilaku hidup sehat
INTERVENSI
RASIONAL
1.    Bersihkan lingkungan yang sudah dipakai oleh pasien lain.
2.    Batasi pengunjung bila perlu.
3.    Intruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien.
4.    Gunakan sabun antimikroba untuk mencuci tangan.
5.    Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan
6.    Pertahankan lingkungan aseptik dan antiseptik selama pemasangan alat
7.    Berikan terapi antibiotik
1.    Untuk mencegah terjadi- nya infeksi nosokimial

2.    Meminimalkan terjadinya infeksi.
3.    Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.



4. Mencegah infeksi.

5. Mencegah terjadinya  infeksi nosokomial.

6. Meminimalkan terjadinya infeksi oleh pathogen.

7. Mencegah penyebaran mikroorganisme ke dalam tubuh.

g. Risiko perdarahan berhubungan dengan post prostatektomi
Nursing Outcome Classification (NOC) :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, pasien  akan :
-          Mengatasi perdarahan
-          Pembekuan darah yang dibuktikan dengan indikator (1: Sangat Berat, 2: Berat, 3: Sedang, 4: Ringan, 5: Tidak ada gangguan)
Dengan kriteria hasil :
-          Tidak ada hematuria, hemaptoe, hematemesis
-          Tidak ada penurunan tekan darah sistolik dan diastolik
-          Tidak ada peningkatan denyut nadi
-          Kulit dan membrane mukosa tidak pucat
INTERVENSI
RASIONAL
1.    Pantau tanda-tanda penurunan trombosityang disertai dengan tanda klinis



2.    Berikan penjelasan tentang pengaruh trombosit pada pasien.

3.    Menganjurkan pasien untuk banyak istirahat.
4.    Berikan penjelasan pasien dan keluarga untuk melaporkan bila terjadi perdarahan.
5.    Kolaborasi pemberian obat-obatan, berikan penjelasan tentang manfaat obat.
1. Penurunan jumlah trombo- sit merupakan tanda adanya kebocoran plasma yang pada tahap tertentu dapat menimbulkan tanda berupa perdarahan nyata.
2. Pengetahuan yang baik dapat membantu mengan- tisipasi terjadinya perdarahan.
3. Mengurangi resiko terjadinya perdarahan.
4. Keterlibatan keluarga akan membantu penanganan sedini mungkin.
5.   Membantu proses penyembuhan.

6.    IMPLEMENTASI
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan : Benigna Prostat Hiperplasia “BPH” disesuaikan dengan intervensi yang telah direncanakan.
7.    EVALUASI
Evaluasi adalah bagian terakhir dari proses keperawatan. Semua tahap proses keperawatan (diagnosa, tujuan, intervensi) harus dievaluasi.
               Hasil asuhan keperawatan pada pasien dengan Gangguan Sistem   Perkemihan : Post Op Benigna Prostat Hiperplasia “BPH” sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi ini didasarkan pada hasil yang diharapkan atau perubahan yang terjadi pada pasien.


            Adapun sasaran evaluasi pada pasien Post Operasi Benigna Prostat Hiperplasia sebagai berikut :
a.   Nyeri terkontrol
b.   Mampu menjelaskan faktor penyebab penyakit dan proses penyakit
c.   Aktivitas sehari-hari pasien dapat terpenuhi.
d.   Risiko infeksi tidak terjadi.
e.    Kecemasan pasien akan berkurang dan mendengarkan penjelasan  dari perawat tentang proses penyakitnya.
f.    Melaporkan adanya peningkatan kualitas tidur.
g.   Tidak terjadi perdarahan (Nurarif & Kusuma, 2013)
       

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar